Saturday, May 24, 2014

Lebih Baik Menjadi Sunni

By Adian Husaini*

Ada sebuah cerita yang terjadi tahun 1985. Saat itu, saya mahasiswa Institut Pertanian Bogor, tahun pertama. Seorang teman baik saya, datang ke rumah menuturkan pemahaman barunya. Katanya, apa yang selama ini dia pahami, ternyata salah semua. Kata dia, Abu Bakar, Umar, Usman, bukan khalifah yang sah. Hanya Ali yang sah. Hadits-hadits Bukhari-Muslim yang selama ini diyakini kesahihannya, perlu ditinjau ulang. Bermacammacam dia bercerita.

Tahun itu, pesona Revolusi Islam Iran cukup kuat. Semangat keislaman membakar kami. Di kamar kos, tertempel juga poster "Sepuluh Wasiat Imam Khomeini" yang isinya baik-baik. Namun, tak terbersit sedikit pun kami menjadi Syiah. Saat itu, saya bersama sejumlah mahasiswa sedang mengaji kitab "Ana Muslimun Sunniyyun Syafi'iyyun", pada penulisnya, KH Abdullah bin Nuh, seorang ulama besar di Bogor.

Paparan teman saya itu membuat saya sedih. Setiap diskusi memanas dan ujungya: buntu! Suatu ketika, saya bertanya, "Kalau saya masuk Syiah, apa saya dijamin masuk surga?" la terdiam dan menjawab, "Tidak!" Saya menukas lagi, "Jika tidak dijamin surga, untuk apa saya menjadi Syiah? Menjadi Sunni saja belum tentu masuk surga, apalagi Syiah!" Kami terdiam.

Cerita ini pernah saya utarakan di depan publik, dalam sebuah diskusi dengan seorang tokoh pegiat Syiah di Universitas Paramadina Jakarta. Sang tokoh, kabarnya Syiah, tapi tidak melaksanakan mut'ah. Entahlah! Saya katakan pada si pembawa kabar, "Lho, apa dia tidak rugi. Sudah Syiah kok tidak mut'ah?" Sebab, membaca sejumlah tulisannya, si tokoh ini memang sangat mendukung konsep nikah mut'ah.

Ini kisah lain. Sebelum berdialog dengan tokoh Ahmadiyah di sebuah televisi, saya mencoba menggali pemikiran mitra-dialog yangjuga tokoh Ahmadiyah di Indonesia itu. "Menurut Anda, orang seperti saya, yang bukan Ahmadiyah, apakah bisa masuk surga?" Diajawab, "Eisa!" Saya tahu, dia berbohong. Sebab, sejumlah buku terbitan Ahmadiyah yang saya bawajelas menyebutkan, orang-orang yang tidak mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dicap sebagai orang sesat dan haram bermakmum pada mereka dalam shalat. Kepada si tokoh Ahmadiyah itu saya katakan, "Jika saya bisa masuk surga, tanpa masuk Ahmadiyah, kenapa Anda tidak masuk Muhammadiyah atau NU saja?" Dalam dialog itu, saya hadir bersama Dr Mukhlis Hanafi, cendekiawan muda NU.

Logikanya sederhana. Bukankah Indonesia akan lebih nyaman dan damai jika orang-orang Ahmadiyah menjadi Muslim, sebagaimana umumnya. Untuk apa jadi Ahmadiyah atau Syiah, jika ujung-ujungnya ribut dan konflik. Toh, kata tokoh-tokoh mereka di media massa, semua Muslim adalah saudara. Syiah dan Sunni sama-sama mazhab dalam Islam. Jadi, sama-sama bisa masuk surga! Itu kata mereka.

Jika Ahlu Sunnah dan Syiah sama-sama mazhab dalam Islam; tidak ada perbedaan pendapat yang mendasar; bisa sama-sama masuk surga, lalu untuk apa menjadi Syiah di Indonesia? Bukankah --demi persatuan kesatuan, dan kedamaian - lebih baik kita semua menjadi Muslim- Sunni?

Kamis (9/2/2012), sebuah koran harian di Jakarta memuat iklan setengah halaman dari pendukung Syiah yang menamakan, Yayasan Muslim Indonesia Bersatu, www.muslimunity. net. Judul iklan tersebut adalah: "MELAWAN POLITIKADU DOMBA DENGAN PERSATUAN UMAT." Inti iklan itu adalah ajakan untuk membangun persatuan umat, khususnya antara Muslim ahlu Sunnah walJamaah dengan pengikut Syiah. Dikutiplah pernyataan berbagai ulama Sunni dan Syiah yang mengajak untuk bersatu. Ditulis kata-kata indah: "Yang terpenting di antaranya adalah tidak merasa benar sendiri dan menganggap keyakinan mazhab lain salah, apalagi kemudian merasa perlu mendakwahkan mazhabnya serta berupaya mengubah keyakinan para pengikut mazhab lainnya."

Jika benar ingin persatuan, jika tidak boleh merasa benar sendiri, mengapa buku-buku terbitan kaum Syiah di Indonesia masih saja mencerca Sahabat dan istri Nabi? Mereka tentu paham, Muslim Sunni sangat cinta Nabi SAW. keluarga dan Sahabat-sahabatnya. Muslim Sunni mustahil berdiam diri dan ridha jika istri Nabi SAW dan Sahabat-sahabatnya dihujat dan dicaci maki. Maka, daripada memelihara dendam dan mengumbar caci-maki pada Sahabat dan istri Nabi SAW. bukankah lebih baik menjadi Sunni?! Orang Sunni cinta Nabi SAW dan semua orang yang dicintai Sang Nabi SAW.

*Dosen Pasca Sarjana Universitas lbn Khaldun Bogor

No comments:

Post a Comment