Saturday, May 24, 2014

Lebih Baik Menjadi Sunni

By Adian Husaini*

Ada sebuah cerita yang terjadi tahun 1985. Saat itu, saya mahasiswa Institut Pertanian Bogor, tahun pertama. Seorang teman baik saya, datang ke rumah menuturkan pemahaman barunya. Katanya, apa yang selama ini dia pahami, ternyata salah semua. Kata dia, Abu Bakar, Umar, Usman, bukan khalifah yang sah. Hanya Ali yang sah. Hadits-hadits Bukhari-Muslim yang selama ini diyakini kesahihannya, perlu ditinjau ulang. Bermacammacam dia bercerita.

Tahun itu, pesona Revolusi Islam Iran cukup kuat. Semangat keislaman membakar kami. Di kamar kos, tertempel juga poster "Sepuluh Wasiat Imam Khomeini" yang isinya baik-baik. Namun, tak terbersit sedikit pun kami menjadi Syiah. Saat itu, saya bersama sejumlah mahasiswa sedang mengaji kitab "Ana Muslimun Sunniyyun Syafi'iyyun", pada penulisnya, KH Abdullah bin Nuh, seorang ulama besar di Bogor.

Paparan teman saya itu membuat saya sedih. Setiap diskusi memanas dan ujungya: buntu! Suatu ketika, saya bertanya, "Kalau saya masuk Syiah, apa saya dijamin masuk surga?" la terdiam dan menjawab, "Tidak!" Saya menukas lagi, "Jika tidak dijamin surga, untuk apa saya menjadi Syiah? Menjadi Sunni saja belum tentu masuk surga, apalagi Syiah!" Kami terdiam.

Cerita ini pernah saya utarakan di depan publik, dalam sebuah diskusi dengan seorang tokoh pegiat Syiah di Universitas Paramadina Jakarta. Sang tokoh, kabarnya Syiah, tapi tidak melaksanakan mut'ah. Entahlah! Saya katakan pada si pembawa kabar, "Lho, apa dia tidak rugi. Sudah Syiah kok tidak mut'ah?" Sebab, membaca sejumlah tulisannya, si tokoh ini memang sangat mendukung konsep nikah mut'ah.

Ini kisah lain. Sebelum berdialog dengan tokoh Ahmadiyah di sebuah televisi, saya mencoba menggali pemikiran mitra-dialog yangjuga tokoh Ahmadiyah di Indonesia itu. "Menurut Anda, orang seperti saya, yang bukan Ahmadiyah, apakah bisa masuk surga?" Diajawab, "Eisa!" Saya tahu, dia berbohong. Sebab, sejumlah buku terbitan Ahmadiyah yang saya bawajelas menyebutkan, orang-orang yang tidak mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dicap sebagai orang sesat dan haram bermakmum pada mereka dalam shalat. Kepada si tokoh Ahmadiyah itu saya katakan, "Jika saya bisa masuk surga, tanpa masuk Ahmadiyah, kenapa Anda tidak masuk Muhammadiyah atau NU saja?" Dalam dialog itu, saya hadir bersama Dr Mukhlis Hanafi, cendekiawan muda NU.

Logikanya sederhana. Bukankah Indonesia akan lebih nyaman dan damai jika orang-orang Ahmadiyah menjadi Muslim, sebagaimana umumnya. Untuk apa jadi Ahmadiyah atau Syiah, jika ujung-ujungnya ribut dan konflik. Toh, kata tokoh-tokoh mereka di media massa, semua Muslim adalah saudara. Syiah dan Sunni sama-sama mazhab dalam Islam. Jadi, sama-sama bisa masuk surga! Itu kata mereka.

Jika Ahlu Sunnah dan Syiah sama-sama mazhab dalam Islam; tidak ada perbedaan pendapat yang mendasar; bisa sama-sama masuk surga, lalu untuk apa menjadi Syiah di Indonesia? Bukankah --demi persatuan kesatuan, dan kedamaian - lebih baik kita semua menjadi Muslim- Sunni?

Kamis (9/2/2012), sebuah koran harian di Jakarta memuat iklan setengah halaman dari pendukung Syiah yang menamakan, Yayasan Muslim Indonesia Bersatu, www.muslimunity. net. Judul iklan tersebut adalah: "MELAWAN POLITIKADU DOMBA DENGAN PERSATUAN UMAT." Inti iklan itu adalah ajakan untuk membangun persatuan umat, khususnya antara Muslim ahlu Sunnah walJamaah dengan pengikut Syiah. Dikutiplah pernyataan berbagai ulama Sunni dan Syiah yang mengajak untuk bersatu. Ditulis kata-kata indah: "Yang terpenting di antaranya adalah tidak merasa benar sendiri dan menganggap keyakinan mazhab lain salah, apalagi kemudian merasa perlu mendakwahkan mazhabnya serta berupaya mengubah keyakinan para pengikut mazhab lainnya."

Jika benar ingin persatuan, jika tidak boleh merasa benar sendiri, mengapa buku-buku terbitan kaum Syiah di Indonesia masih saja mencerca Sahabat dan istri Nabi? Mereka tentu paham, Muslim Sunni sangat cinta Nabi SAW. keluarga dan Sahabat-sahabatnya. Muslim Sunni mustahil berdiam diri dan ridha jika istri Nabi SAW dan Sahabat-sahabatnya dihujat dan dicaci maki. Maka, daripada memelihara dendam dan mengumbar caci-maki pada Sahabat dan istri Nabi SAW. bukankah lebih baik menjadi Sunni?! Orang Sunni cinta Nabi SAW dan semua orang yang dicintai Sang Nabi SAW.

*Dosen Pasca Sarjana Universitas lbn Khaldun Bogor

Friday, March 4, 2011

Presiden SBY dan Ahmadiyah

Mirza Ghulam Ahmad, nabi-nya, kaum Ahmadiyah, pernah menebar ancaman kepada orang-orang yang menentang dan tidak mengimaninya sebagai nabi, utusan Allah. Tahun 1993, Jemaat Ahmadiyah Cabang Bandung, menerbitkan sebuah buku berjudul "Memperbaiki Suatu Kesalahan" (Eik Ghalthi Ka Izalah), karya asli Mirza Ghulam Ahmad yang dialihbahasakan oleh H.S. Yahya Pontoh.

Di dalam buku ini, Mirza Ghulam Ahmad (MGA) menegaskan:

“Aku bersumpah dengan nama Tuhan yang telah mengutusku – dan bersumpah dusta atas nama-Nya adalah suatu perbuatan yang terkutuk – bahwa Dia lah Yang telah menjadikan dan mengutus aku sebagai Masih Mau’ud. Sebagaimana aku yakin dan percaya kepada segala ayat Al-Qur’an Suci, begitu pulalah dengan tidak membedakan sedikit jua pun, aku yakin dan percaya kepada wahyu-wahyu Allah Taala yang terang-benderang yang tela diwahyukan kepadaku , yang cukup jelas kepadaku kebenarannya yang dengan perantaraan tanda-tanda-Nya yang mutawatir.

Dengan berdiri di sisi Baitullah aku bersumpah, bahwa wahyu-wahyu suci diturunkan kepadaku adalah semuanya firman Tuhan Yang dahulu pernah menurunkan wahyu-wahyu-Nya kepada Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s. dan kepada yang mulia Muhammad Musthafa saw. Bumi juga telah menjadi saksi bagiku, demikian pun langit. Bahkan langit mengatakan bahwa aku ini Khalifatullah, demikian juga bumi; tetapi sebagai telah dikatakan dalam khabar-khabar ghaib, aku tentu akan ditolak oleh manusia. Orang-orang yang hatinya tertutup tentu tidak akan menerima aku.

Tetapi aku tahu dan yakin, bahwa Allah Taala sesungguhnya akan menolong aku, sebagaimana dahulu kala Dia menolong rasul-rasul-Nya. Seorang pun tiada yang akan dapat melawan aku, sebab pertolongan Allah tiada bersama mereka.” (hal. 13-14).


Simaklah kata-kata MGA yang begitu tegas: “Seorang pun tiada yang akan dapat melawan aku, sebab pertolongan Allah tiada bersama mereka.”

Jadi, katanya, tidak yang akan dapat melawan Mirza Ghulam Ahmad! Orang yang menolak klaim “kenabiannya” dia katakan hanya karena kebodohan saja. “Jika ada orang yang marah, karena wahyu kepadaku ada yang menerangkan bahwa aku ini nabi dan rasul, maka dalam hal ini menunjukkan kebodohannya sendiri.” (hal. 15).

Untuk meyakinkan orang lain, bahwa MGA adalah “nabi”, kaum Ahmadiyah maupun MGA sendiri, berulangkali menebarkan satu jenis ancaman, bahwa siapa yang tidak iman kepada MGA, orang itu akan binasa, celaka, tidak selamat, dan sebagainya.

Tahun 1989, Yayasan Wisma Damai – sebuah penerbit buku Ahmadiyah –menerjemahkan buku berjudul Da’watul Amir: Surat Kepada Kebenaran, karya Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. Oleh pengikut Ahmadiyah, penulis buku ini diimani sebagai Khalifah Masih II/Imam Jemaat Ahmadiyah (1914-1965).

Buku ini juga mengancam siapa saja yang tidak mau iman pada MGA dan memilih berada di luar Ahmadiyah:

”Kami sungguh mengharapkan kepada Anda agar tidak menangguh-nangguh waktu lagi untuk menyongsong dengan baik utusan Allah Ta’ala yang datang guna menzahirkan kebenaran Rasulullah saw. Sebab, menyambut baik kehendak Allah Taala dan beramal sesuai dengan rencana-Nya merupakan wahana untuk memperoleh banyak keberkatan. Kebalikannya, menentang kehendak-Nya sekali-kali tidak akan mendatangkan keberkatan.” (hal. 372).

Juga ditegaskan: ”Kami dengan bersungguh-sungguh mengatakan bahwa orang tidak dapat menjumpai Allah Ta’ala di luar Ahmadiyah.” (hal. 377).

Orang yang menolak kenabian MGA pun dicap sebagai musuh Islam: ”Jadi, sesudah Masih Mau’ud turun, orang yang tidak beriman kepada beliau akan berada di luar pengayoman Allah Taala. Barangsiapa yang menjadi penghalang di jalan Masih Mau’ud a.s, ia sebenarnya musuh Islam dan ia tidak menginginkan adanya Islam.” (hal. 374).

Untuk mendukung klaim kenabiannya, MGA menggunakan berbagai cara, termasuk mengaku menerima wahyu yang bunyi lafaznya sama persis dengan lafaz ayat-ayat tertentu dalam al-Quran. Misalnya, dalam buku Eik Ghalthi Ka Izalah, MGA mengaku mendapatkan wahyu yang bunyinya: “Muhammadur Rasuulullah, walladziina ma’ahuu asyiddaa’u ‘alal kuffari ruhamaa’u bainahum.” (“Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang sesama mukmin….”.)

Oleh MGA, ayat al-Quran itu diklaim sebagai wahyu yang juga diturunkan kepadanya. Ia menulis, dalam buku yang ditulisnya tahun 1901 tersebut: “Dalam wahyu ini Allah s.w.t. menyebutkan namaku “Muhammad” dan “Rasul”. (hal. 5).

Bahkan, MGA juga mengaku pernah mendapatkan wahyu yang bunyinya: Huwalladzii arsala Rasuulahuu bil-hudaa wa diinil haq liyudzhirahuu ‘alad-diini kullihi.” Kumpulan wahyu ini dikumpulkan dalam buku Barahin Ahmadiyah. MGA menulis dalam buku tersebut: “Di dalam wahyu ini nyata benar, bahwa aku dipanggil dengan nama Rasul.” (hal. 4).

Dalam buku Da’watul Amir, Ahmadiyah menceritakan nasib sejumlah orang termasuk Kepala Negara yang mencoba menghalang-halangi dan menghancurkan Ahmadiyah. Kepada Kepala Negara, diserukan agar masuk ke Jamaat Ahmadiyah:

“Jadi, tinggal di luar jemaat yang didirikan oleh Allah Taala merupakan keadaan yang sangat menakutkan, maka teristimewa pula para raja yang kepada mereka dipikulkan dua macam tanggung jawab, yakni, pertama mengenai diri mereka sendiri, dan kedua mengenai rakyat mereka… Oleh karena itu, andaikata Abda seorang pemimpin hendaklah Anda meniadakan rintangan yang menjadi halangan untuk masyarakat menerima Kebenaran, agar dosa mereka tidak ditimpakan kepada Anda.”

Menurut Ahmadiyah, jika para pemimpin tidak mau mengimani kenabian MGA, maka mereka akan berdosa dan menanggung dosa rakyatnya, sebagaimana isi surat Nabi Muhammad saw kepada Kaisar Roma: “Apabila Anda menolak, maka dosa-dosa rakyat pun akan dipikulkan atas pribadi Anda.”

Membaca buku-buku dan tulisan-tulisan MGA serta pengikutnya, tampak jelas, bahwa yang dilakukan Ahmadiyah sebenarnya sudah memenuhi unsur penodaan agama sebagaimana diatur dalam UU No. 1/PNPS/1965. Pasal 1 UU ini menyatakan: “setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum, menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

Kita tinggal menunggu ketegasan pemerintah untuk menegakkan hukum sebagaimana yang diatur dalam UU No 1/PNPS/1965. Pantas muncul pertanyaan, jika pemerintah berani menindak dengan tegas -- sesuai Undang-undang -- nabi-nabi palsu dan pengikutnya seperti Lie Eden dan Ahmad Mosadeq, kenapa sikap dan kebijakan yang sama tidak diterapkan untuk kelompok pengikut Nabi asal India ini?

Dalam tulisannya di Jurnal Islamia-Republika, (17/2/2011), Dr. Anis Malik Thoha memaparkan sejarah konflik Islam-Ahmadiyah di India-Pakistan, sehingga akhirnya pada tahun 1974 Ahmadiyah ditetapkan sebagai kelompok minoritas non-Muslim, sebagaimana ditetapkan dalam Konstitusi Pakistan: “non-Muslim” means a person who is not a Muslim and includes a person belonging to the Christian, Hindu, Sikh, Buddhist or Parsi community, a person of the Quadiani Group or the Lahori Group who call themselves ‘Ahmadis’ or by any other name or a Bahai, and a person belonging to any of the Scheduled Castes.

Berikut paparan Dr. Anis tentang sejarah kelompok Ahmadiyah dan respon umat Islam di India dan Pakiatan:

Sejak Mirza Ghulam Ahmad (1840-1908) menyebarkan ajarannya di India, hubungan umat Islam dan pengikut Ahmadiyah selalu diwarnai ketegangan. Bahkan, beberapa kali terjadi pertumpahan darah. Ahmadiyah, ibarat duri dan “fitnah” yang sepertinya sengaja ditanamkan dan dipelihara oleh pihak-pihak tertentu.

Menyadari dahsyatnya “fitnah” ini, para pemimpin dan tokoh Islam India telah lama mencoba sekuat tenaga, baik dengan pena maupun lisan, untuk meredamnya. Diantara mereka adalah Syeikh Muhammad Husein al-Battalawi, Maulana Muhammad Ali al-Monkiri (pendiri Nadwatul Ulama India), Syeikh Thana’ullah al-Amritsari, Syeikh Anwar Shah al-Kashmiri, dan Seyyed Ata’ullah al-Bukhari al-Amritsari. Tidak ketinggalan juga filosof dan penyair Muhammad Iqbal.

Tahun 1916, para ulama sudah mengeluarkan fatwa tentang “kekafiran kaum Ahmadiyah/Qadiyaniyyah”. Seluruh ulama, secara ijma’ dalam fatwa ini menyatakan bahwa pengikut Ahmadiyah/Qadiyaniyyah adalah kafir dan keluar dari agama Islam. Pada tahun 1926, kantor Ahlul Hadits di Amritsar juga mengeluarkan fatwa serupa dengan judul “Batalnya Nikah Dua Orang Mirzais” yang ditandatangani oleh ulama aliran/mazhab/kelompok/markazIslam di seluruh anak benua India (lihat: Mawqif al-Ummah al-Islamiyyah min al-Qadiyaniyyah. Multan: Majlis Tahaffuz Khatm al-Nubuwwah. 76-7).

Adapun Muhammad Iqbal, melalui goresan penanya menyeru pemerintahan kolonial Inggris di India untuk segera menghentikan “fitnah” ini dengan mendengarkan dan mengabulkan tuntutan-tuntutan kaum Muslimin India dalam kaitannya dengan gerakan dan/atau ajaran Ahmadiyah. Dalam salah satu risalahnya yang dikirimkan ke harian berbahasa Inggris terbesar di India, Statesman, edisi 10 Juni 1935, dia menyatakan: “Ahmadiyyah/Qadiyaniyyah adalah upaya sistematis untuk mendirikan golongan baru diatas dasar kenabian yang menandingi kenabian Muhammad (s.a.w.).”

Iqbal juga meminta pertanggung-jawaban pemerintah kolonial Inggris atas kejadian “fitnah” ini seraya memperingatkan jika pemerintahan tidak memperhatikan keadaan ini dan tidak menghargai perasaan kaum Muslimin dan dunia Islam, tapi malah membiarkan “fitnah” bebas leluasa, maka umat Islam yang merasa kesatuannya terancam bukan tidak mungkin akan terpaksa menggunakan kekuatan untuk membela diri (Mawqif, 88-9).

Namun sekali lagi, seruan para ulama itu diabaikan pemerintah Pakistan. Umat Islam pun tak pernah surut dalam menentang Ahmadiyah. Suasana panas mencapai puncaknya setelah sekelompok pengikut Ahmadiyah menyerang pelajar sekolah negeri diatas kereta api yang melewati terminal Rabwah, kota suci kaum Ahmadiyyah, dalam perjalanan mereka untuk liburan musim panas.

Peristiwa ini mengusik kesabaran umat Islam. Pada gilirannya umat Islam memaksa pemerintah untuk mengangkat masalah Ahmadiyah ini ke Majlis Nasional dan Dewan Perwakilan Rakyat. Maka dipanggillah Mirza Nasir Ahmad, pemegang pucuk pimpinan Ahmadiyah pada waktu itu (yang adalah cucu Mirza Ghulam Ahmad). Para ulama pun sudah berhasil meyusun dokumen yang menjelaskan sikap umat Islam terhadap Qadiyaniyah untuk diajukan ke persidangan Majlis Nasional, yang kemudian dibukukan dengan judul Mawqifal-Ummah al-Islamiyyah min al-Qadiyaniyyah (Sikap Umat Islam Terhadap Qadiyaniyyah).

Setelah mendengarkan keterangan dan sikap dari kedua pihak, Majlis Nasional pada 7 September 1974 memutuskan secara bulat untuk menerima dan menyetujui tuntutan-tuntutan umat Islam berkaitan dengan Ahmadiyah. Keputusan ini disambut dengan suka-ria oleh umat Islam seluruh Pakistan. Tanggal 7 September 1974 dianggap sebagai hari kemenangan bersejarah bagi umat Islam. Umat Islam hanya menuntut hak-hak dasar mereka yang telah dirampas oleh pihak lain, dan tidak rela agama yang suci ini dikotori oleh siapa pun.

Demikian paparan Dr. Anis Malik Thoha, peneliti INSISTS dan pakar perbandingan agama dari International Islamic University Malaysia.

Berkaca dari kasus di Pakistan itu, seyogyanya pemerintah kita, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat mengambil pelajaran. Bukan kebijakan yang bijak untuk membiarkan satu kelompok yang jelas-jelas menodai agama Islam tetap eksis secara organisasi di Indonesia. Tentu Pak SBY tidak rela jika ada orang yang mengaku-aku sebagai utusan Presiden RI berkeliaran menjalankan aktivitasnya. Logika kita bertanya: apakah Allah akan ridho jika Pak SBY membiarkan orang-orang yang mengaku sebagai utusan Allah berlaku semena-mena melecehkan agama Allah?

Kita tentu tidak percaya bahwa Pak SBY yang seorang Muslim dan jenderal takut dengan gertakan sang nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad! *

Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Thursday, December 30, 2010

Natal, Ibadah Kaum Kristen

PADA 12 November 2010 lalu, PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI) dan KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA (KWI), mengeluarkan PESAN NATAL BERSAMA, yang mengangkat tema: "Terang yang sesungguhnya sedang datang ke dalam dunia." (bdk. Yoh. 1:9).

Sebagian Pesan Natal Bersama itu bisa kita simak sebagai berikut:

"Pada saat ini kita semua sedang berada di dalam suasana merayakan kedatangan Dia, yang mengatakan: “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup” (Yoh. 8:12). Dalam merenungkan peristiwa ini, rasul Yohanes dengan tepat mengungkapkan: “Terang yang sesungguhnya itu sedang datang ke dalam dunia. Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (Lih. Yoh.1:9-11). Suasana yang sama juga meliputi perayaan Natal kita yang terjalin dan dikemas untuk merenungkan harapan itu dengan tema: “Terang yang sesungguhnya sedang datang ke dalam dunia".

Beikutnya, dikatakan dalam Pesan tersebut:

“Terang yang sesungguhnya, yaitu Yesus Kristus yang menjelma menjadi manusia, sudah datang ke dalam dunia. Walaupun banyak orang menolak Terang itu, namun Terang yang sesung-guhnya ini membawa pengharapan sejati bagi umat manusia.”…
“Natal adalah tindakan nyata Allah untuk mempersatukan kembali di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya (Lih. Ef. 1:10). Semua yang dilihat-Nya baik adanya itu (Lih. Kej. 1:10), yang telah dirusakkan dan diceraiberaikan oleh kejahatan manusia, menemukan dirinya di dalam Terang itu. Oleh karena itu, dengan menyambut dan merayakan Natal sebaik-baiknya, kita menerima kembali, ─ dan demikian juga menyatukan diri kita dengan ─ karya penyelamatan Allah yang baik bagi semua orang.”

Menyimak Pesan Natal Bersama PGI dan KWI tersebut, jelaslah bahwa Peringatan Natal adalah peringatan keagamaan bagi kaum Kristen. Natal bukan sekedar perayaan sosial dan budaya. Kaum Kristen meyakini Yesus Kristus sebagai Tuhan yang menjelma menjadi manusia, suatu keyakinan yang secara diametral bertentangan dengan keyakinan kaum Muslim.

Dalam dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium, 14) yang disahkan pada 21 November 1964, dalam Konsili Vatikan II, di Roma, disebutkan: ”Karena satu-satunya Perantara dan jalan keselamatan adalah Kristus, yang hadir di antara kita di dalam Tubuhnya yaitu Gereja... Oleh karenanya tidak dapat diselamatkan orang-orang itu, yang walaupun tahu bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang diperlukan, toh tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di dalamnya.” (Terjemah oleh Dr. J. Riberu, Dokpen MAWI, 1983).

Sementara itu, dalam Islam, kepercayaan bahwa Yesus adalah Tuhan atau anak Tuhan dipandang sebagai satu kekeliruan yang amat sangat serius -- satu kepercayaan yang dikritik keras oleh al-Quran. (QS 5:72-73, 157; 19:89-91, dsb). Sebab, Isa a.s. adalah Nabi, utusan Allah, bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Dalam surat Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak, adalah satu “Kejahatan besar” (syaian iddan). Dan Allah berfirman dalam al-Quran (Terj.): “Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak.” (QS 19:90-91).

Karena itu, Prof. Hamka menyebut tradisi mencampur-campurkan Perayaan Hari Besar Agama Bersama bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau membangun toleransi, tetapi justru menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka menulis tentang usulan perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya berdekatan:

“Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu’ bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima… Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus.”

Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri judul: “Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme.” (Lihat, buku Hamka, Dari Hati ke Hati, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).

Saat terjadi benturan dengan pemerintah dalam soal fatwa “Haram Mengikuti Perayaan Natal Bersama”, Hamka menulis kolom berjudul ”Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?” di rubrik “Dari Hati ke Hati” Majalah Panji Masyarakat No 324 tahun 1981. Baiklah kita kutip kembali sebagian isi tulisan Hamka tersebut:

Bolehkah orang Islam bersama orang Kristen merayakan Hari Natal? Demi kerukunan hidup beragama? Dan tentu ada orang yang ingin bertanya: Bolehkah orang Kristen-demi kerukunan hidup beragama merayakan pula hari Raya ’Idul Fitri dan Idul ’Adha dengan ummat Islam?

Kalau direnungi lebih dalam, hari Natal bagi orang Kristen ialah memperingati dan memuliakan kelahiran Yesus Kristus yang menurut kepercayaan Kristen Yesus itu adalah Tuhan dan anak Tuhan. Dia adalah SATU dari TIGA TUHAN atau TRINITAS. Bila orang Islam turut sama-sama merayakannya, bukanlah berarti meyakini pula bahwa Yesus itu adalah Tuhan, atau satu dalam yang bertiga, atau tiga oknum dalam satu.

Ketika orang merayakan Natal, dilakukanlah beberapa upacara (rituil) yang di dalam bahasa Islam disebut ibadat. Membakar lilin, memakan roti yang dianggap bahwa ketika itu roti tersebut adalah daging Yesus, dan meminum air yang dianggap sebagai darah Yesus.
Ketika terjadi Munas MUI di Cipayung 1979 utusan MUI dari Ujung Pandang membawa berita bahwa kaum Kristen di sana menjelaskan kepada pengikut-pengikutnya bahwa

Peringatan Natal adalah ibadat bagi mereka. Sudah lama hal ini diperbincangkan dalam kalangan kaum Muslimin. Tidak ada orang yang menyadari kehidupan beragama yang tidak meragukan halalnya orang Islam turut bersama orang Kristen menghadiri hari Natal, meskipun tidak ada pula orang Islam yang menolak anjuran kerukunan hidup beragama, dan orang Kristen pun belum pernah pergi bersama ber-Hari Raya ’Idul Fitri dan ’Idul Adha ke tanah lapang atau mesjid. Dengan demikian bukanlah berarti bahwa mereka (orang Kristen) tidak hidup rukun dengan orang Islam.

Sebab itu dapatlah kita fahami bahwa Menteri-menteri Agama sejak Indonesia Merdeka menyuruhkan saja pegawai-pegawai Tinggi yang beragama Kristen menghadiri secara resmi hari-hari peribadatan Kristen, Natalnya, Paskahnya dan lain-lain, pegawai tinggi Katolik untuk menghadiri hari Ibadat Katolik, dan pegawai tinggi Protestant untuk menghadiri hari ibadat Protestant, dan demikian pula dengan pegawai tinggi dari kalangan yang beragama Budha. Dan dengan demikian sekali-kali tidak berkurang rukunnya kita hidup beragama.

Sejak Juli 1975 MUI berdiri dianjurkan kerukunan hidup beragama. Pihak Islam menerima anjuran itu dengan baik. Tetapi terus terang kita katakan bahwa bagaimana batas-batas kerukunan itu, belum lagi kita perkatakan secara konkrit!

Maka terjadilah di Jawa Timur, adanya larangan dari Kanwil P dan K menyiarkan satu karangan yang menerangkan ’aqidah orang Islam, bahwa Allah itu tidak beranak dan tidak diperanakkan. Arti ayat Lam yalid walam yuulad ini dilarang beredar, dengan alasan bahwa karangan ini berisi satu ayat yang bertentangan dengan kerukunan hidup beragama.

Sekarang keluar FATWA dari ulama-ulama, bukan dari Majelis Ulama saja, melainkan disetujui juga oleh wakil-wakil dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan perkumpulan-perkumpulan Islam lainnya, bahkan juga dari Majelis Da’wah Islam (yang berafiliasi dengan Golkar) dalam pertemuan itu timbul kesatuan pendapat bahwa orang Islam yang turut dalam perayaan Natal itu adalah mencampuradukkan ibadat, menyetujui aqidah Kristen, menyatakan Nabi Isa Almasih ’alaihissalam sebagai Tuhan.

Dan di dalam logika tentunya sudah dapat dipahami, bahwa hadir di sana ialah menyatakan persetujuan pada ’amalan iu, apatah lagi jika turut pula membakar lilin, sebagai yang mereka bakar, atau makan roti yang menurut `aqidah Kristen jadi daging Yesus, dan air yang diminum menjadi darah Yesus! Maka orang Islam yang menghadirinya itu oleh ayat: (Barangsiapa menyatakan persetujuan dengan mereka, termasuklah dia dalam golongan mereka) (Al-Maidah: 51).

Apakah konklusi hukum dari yang demikian itu, kalau bukan haram?

Maka bertindaklah ”Komisi fatwa, dari Majelis Ulama Indonesia, salah seorang ketua Al Fadhil H.Syukuri Gazali merumuskan pendapat itu dan dapatlah kesimpulan bahwa turut merayakan Hari Hatal adalah Haram!”

Masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir.

Oleh karena saat ini benar-benar mengenai aqidah, tidaklah soal ini didiamkan. Tanggung jawab sebagai ulama menyebabkan para ulama merasa berdosa kalau hal ini didiamkan saja. Yth Menteri Agama mengetahui hal ini. Beliau meminta supaya hasil fatwa dikirim kepada beliau untuk menjadi pegangan. Tetapi karena memandang fatwa ini adalah menyinggung tanggung jawab Majelis Ulama seluruhnya, keputusan tersebut dikirim kepada cabang-cabang tingkat I (Propinsi) seluruh Indonesia.

Di sinilah timbul kesalahpahaman diantara Pimpinan Majelis Ulama dengan Yth Menteri Agama. Mengapa fatwa itu telah tersiar luas, padahal mestinya disampaikan kepada Menteri Agama saja....

Penulis teringat ketika Majelis Ulama Indonesia mulai didirikan (Juli 1975) seorang muballigh muda H. Hasyim Adnan bertanya: ”Apa sanksinya kalau pemerintah nanti tidak mau menjalankan suatu keputusan dari Majelis Ulama?”

Saya jawab: ”Tidak ada sanksi yang dapat kita pergunakan. Kita sebagai ulama hanya berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kewajiban kita di hadapan Allah hanya menyampaikan dengan jujur apa yang kita yakini. Ulama menerima waris dari Nabi-nabi. Sebab itu kita warisi juga dari Nabi-nabi itu penderitaan dan penghinaan. Sanksi orang yang menolak kebenaran yang kita ketengahkan bukanlah dari kita. Kita ini hanya manusia yang lemah. Yang memegang sanksi adalah Allah Ta’ala sendiri.”

Demikian cetusan hati dan pikiran Buya Hamka yang tampaknya dituangkan dengan sepenuh hati dalam Majalah yang dipimpinnya tersebut.

Disamping adanya usaha pencampuradukan Perayaan Hari Besar antar Agama, di Indonesia dan di berbagai belahan dunia juga telah mulai digalakkan upaya doa bersama lintas agama. Terhadap masalah semacam ini, ada baiknya kita simak Keputusan Bahtsul Masail al-Diniyah al-Waqi’iyyah Muktamar XXX NU di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, 21-27 Nop. 1999, tentang “Doa Bersama Antar Umat Beragama”. Berikut ini sebagian kutipan isinya:


• Deskripsi Masalah: Adanya Krisis (moneter, kepercayaan, keimanan) yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini, menuntut bangsa Indonesia untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan. Diantara usaha-usaha yang dilakukan adalah mengadakan doa bersama antar berbagai umat beragama (Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Budha).

• Soal: Bagaimana hukum doa bersama antar berbagai umat beragama yang sering dilakukan di Indonesia?
• Jawab: Tidak boleh, kecuali cara dan isinya tidak bertentangan dengan syariat Islam.

• Dasar Pengambilan: (1) Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fathil Wahhab Juz V, hlm. 226: Wa’ibaratuhu: walazimanaa man’uhum idhhaarun minkum baynanaa ka-ismaa’ihim iyyaana qaulahum lillaahi tsaalitsu tsalaatsah. (“Menjadi keharusan kita untuk mencegah mereka menampilkan hal tersebut di kalangan kita, semisal mereka memperdengarkan syiar mereka; Allah adalah trinitas.”)

• Dasar Pengambilan: (2) Hasyiyah al-Jamal Juz II, hlm. 119: Wa’ibaaratuhu: Laa yajuuzu at-ta’miinu ‘alaa du’aail kaafiri li-annahu ghairu maqbuulin liqaulihi Ta’aalaa: Wa maa du’aaul kafiriina illaa fii dhalaalin. (Dan tidak boleh mengamini doa orang kafir karena doanya tidak diterima dengan firman Allah SWT: Dan doa (ibadah) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka” (ar-Ra’du: 14).

• Dasar Pengambilan: (3) al-Bujairimi ‘alal Khathib juz IV, hlm. 235: (yang artinya): “Haram mencintai orang kafir, yakni adanya rasa suka dan kecenderungan hati kepadanya. Sedangkan sekedar bergaul secara lahir saja, hukumnya makruh… adapun bergaul dengan mereka untuk mencegah timbulnya sesuatu mudharat yang tidak diinginkan yang mungkin dilakukan oleh mereka, ataupun mengambil sesuatu manfaat dari pergaulan tersebut, maka hukumnya tidak haram.”

• Dasar Pengambilan: (4) Mughnil Muhtaj, Juz I hal. 232, yang juga menegaskan, bahwa haram hukumnya mengamini doa orang-orang kafir, sebab doa orang kafir tidak maqbul. (Wa laa yajuuzu an-yuammina ‘alaa du’aaihim kamaa qaalahu ar-Rauyani li-anna du’aal kaafiri ghairul maqbuuli…).

• (Sumber: buku Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), penerbit: Lajtah Ta’lif wan-Nasyr, NU Jatim, cet.ke-3, 2007, hal. 532-534).

Pada tanggal 7 Mei 1981, Prof. Dr. Hamka sebagai ketua umum MUI, membuat surat edaran, yang antara lain menyatakan bahwa fatwa “Haram Ikut Merayakan Natal Bersama” : “dipandang perlu untuk dikeluarkan sebagai tanggung jawab para ulama untuk memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka memelihara kemurnian aqidah Islamiyah, tanpa mengabaikan kerukunan hidup beragama. Dan sebagai Ketua Umum MUI saya menyerukan supaya kita sama-sama menjaga ketenangan, kerukunan hidup beragama dan memelihara kemurnian aqidah.”

Pada tanggal 19 Mei 1981, sebagai rasa tanggung jawabnya terhadap umat, maka Buya Hamka kemudian meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI. Pada tanggal 23 Mei 1981, Buya Hamka menulis kolom Dari Hati ke-Hati di Majalah Panjimas, No. 325, yang dia beri judul Niat Yang Tulus. Kata Hamka: “Meskipun usia sudah 73 tahun, sedikit pun tidak terfikirkan bahwa saya telah melepaskan diri dari beban yang berat, kemudian bersantai-santai menjelang ajal. Husnul khatimah, itulah cita-cita terakhir hidup di dunia ini.” []

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Saturday, December 25, 2010

Umat Islam Tidak Toleran?

PADA 1 Juli 2009, Dr. Marwa El-Sherbini, seorang Muslimah yang sedang hamil tiga bulan dibunuh oleh seorang non-Muslim di Pengadilan Dresden Jerman. Dr. Marwa dibunuh dengan sangat biadab. Ia dihujani tusukan pisau sebanyak 18 kali, dan meninggal di ruang siding.

Dr. Marwa hadir di sidang pengadilan, mengadukan seorang pemuda Jerman bernama Alex W yang menjulukinya sebagai “teroris” karena ia mengenakan jilbab. Pada suatu kesempatan, Alex juga pernah berusaha melepas jilbab Marwa, Muslimah asal Mesir. Di persidangan itulah, Alex justru membunuh Dr. Marwa dengan biadab. Suami Marwa yang berusaha membela istrinya justru terkena tembakan petugas.

Mungkin karena korbannya Muslim, dan pelakunya warga asli non-Muslim, peristiwa besar itu tidak menjadi isu nasional, apalagi internasional. Tampaknya, kasus itu bukan komoditas berita yang menarik dan laku dijual!

Bandingkan dengan kasus terlukanya seorang pendeta Kristen HKBP di Ciketing Bekasi, akibat bentrokan dengan massa Muslim. Meskipun terjadi di pelosok kampung, dunia ribut luar biasa. Menlu AS Hilary Clinton sampai ikut berkomentar. Situs berita Kristen www.reformata.com, pada 20 September 2010, menurunkan berita: “Menlu AS Prihatin soal HKBP Ciketing”.

Menyusul kasus Ciketing tersebut, International Crisis Group (ICG), dalam situsnya, (www.crisisgroup.org) juga membuat gambaran buruk terhadap kondisi toleransi beragama di Indonesia: “Religious tolerance in Indonesia has come under increasing strain in recent years, particularly where hardline Islamists and Christian evangelicals compete for the same ground.”

Banyak orang Muslim terbengong-bengong dengan fenomena ketidakdilan informasi yang menimpa mereka. Saat menemani Presiden Barack Obama melihat-lihat Masjid Istiqlal, Prof. KH Ali Musthafa Ya’qub menyampaikan titipan kaum Muslim Washington yang sudah tujuh tahun menunggu izin pendirian Masjid. Padahal, tanah sudah tersedia. Izin sudah diajukan dan belum kunjung keluar.

Masalahnya, yang jadi korban Muslim! Mungkin, oleh berbagai pihak, kasus yang menimpa kaum Muslim dianggap bukan komoditas berita yang menarik dan layak jual.

Kasus-kasus penyerangan tempat ibadah dan orang-orang Muslim di dunia Barat sangat melimpah datanya. Kebencian terhadap Muslim meningkat setelah peristiwa 11 September 2001. Berbagai laporan menunjukkan terjadinya vandalisme di banyak masjid dan kuburan Muslim hampir di seluruh Eropa. Pelecehan terhadap Islam seperti dilakukan oleh politisi Belanda Geert Wilders, juga tidak menjadi isu internasional tentang pelecehan Islam.

Pada 12 Februari 2010, Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) menyebarluaskan data perusakan gereja di Indonesia. Kata mereka, hingga awal tahun 2010 telah ada hampir sekitar 1200 buah gereja yang dirusak dan ditutup. Berita ini tersebar ke seluruh dunia.

Fantastis! Ada 1200 gereja dirusak di Indonesia, sebuah negeri Muslim terbesar di dunia! Wajar jika dari ekspose angka itu akan muncul persepsi negatif terhadap Indonesia dan kaum Muslim. Setidaknya, bisa muncul opini, betapa biadab dan tidak tolerannya orang Muslim di Indonesia! Jika kasus satu gereja di Ciketing Bekasi saja sampai ke telinga Hillary Clinton, bagaimana dengan kasus 1.200 perusakan gereja!

Sayang, tidak ada analisis komprehensif dan jujur mengapa dan jenis kerusakan apa yang dialami gereja-gereja itu. Data Badan Litbang Kementerian Agama menunjukkan, pertumbuhan gereja Protestan di Indonesia pada periode 1977-2004, menunjukkkan angka yang fantastis, yakni 131,38 persen. Gereja Katolik lebih fantastis, 152 persen. Sedangkan pertumbuhan rumah ibadah umat Islam meningkat 64,22 persen pada periode yang sama.

Angka pertumbuhan gereja di Indonesia yang fantastis itu mestinya juga diekspose oleh lembaga-lembaga Kristen ke dunia internasional, agar laporan mereka lebih berimbang dan fair terhadap kondisi keberagamaan di Indonesia! Itu jika ada keinginan untuk membangun Indonesia sebagai rumah bersama, agar lebih adil, makmur, dan sejahtera.

Dalam soal toleransi beragama, antara opini dan fakta memang bisa jauh berbeda. Umat Islam sudah kenyang dengan rekayasa semacam itu. Dunia Barat bepuluh tahun tertipu oleh opini yang diciptakan kaum Zionis, bahwa negeri Palestina adalah tanah kosong, tanpa penduduk. Bertahun-tahun banyak orang Barat percaya, bahwa Israel adalah “David” sedangkan negara-negara Arab adalah “Goliath”. Kini, banyak yang sudah terbuka matanya, apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam beberapa kali mengikuti perjalanan jurnalistik ke luar negeri, antara tahun 1996-1997, saya melihat bagaimana masalah Islamisasi di Timtim itu kadangkala diangkat oleh wartawan Barat dalam acara jumpa pers dengan pejabat-pejabat pemerintah RI. Mereka termakan oleh kampanye Uskup Belo selama bertahun-tahun bahwa telah terjadi Islamisasi di Timtim yang antara lain difasilitasi oleh ABRI.

Padahal, fakta bicara lain. Yang terjadi di masa integrasi Timtim dengan Indonesia adalah Katolikisasi! Bukan Islamisasi! Hasil penelitian Prof. Bilver Singh dari Singapore National University, menunjukkan, pada 1972, orang Katolik Timtim hanya berjumlah 187.540 dari jumlah penduduk 674.550 jiwa (27,8 persen). Tahun 1994, jumlah orang Katolik menjadi 722.789 dari 783.086 jumlah penduduk (92,3 persen). Tahun 1994, umat Islam di Timtim hanya 3,1 persen. Jadi dalam tempo 22 tahun di bawah Indonesia, jumlah orang Katolik Timtim meningkat 356,3%. Padahal, Portugis saja, selama 450 tahun menjajah Timtim hanya mampu mengkatolikkan 27,8% orang Timtim.

Melihat pertambahan penduduk Katolik yang sangat fantastis itu, Thomas Michel, Sekretaris Eksekutif Federasi Konferensi para Uskup Asia yang berpusat di Bangkok, menyatakan, “Gereja Katolik di Timtim berkembang lebih cepat dibanding wilayah lain mana pun di dunia.” (Lihat, Bilveer Singh, Timor Timur, Indonesia dan Dunia, Mitos dan Kenyataan (Jakarta: IPS, 1998).

Itu fakta. Tapi, opini di dunia internasional berbeda. Sejumlah kasus Islamisasi di Timtim diangkat dan dibesar-besarkan sehingga menenggelamkan gambar besar kondisi keagamaan di Timtim saat itu.

Ini kepiawaian mencipta opini! Perlu diacungijempol. Tokoh agama menjalankan fungsinya sebagai juru kampanye, bahwa umatnya tertindas, terancam, dan perlu pertolongan dunia internasional. Dan, kampanye itu menuai hasil yang mengagumkan! Dunia diminta percaya bahwa kaum Kristen terancam dan tertindas di Indonesia; bahwa tidak ada toleransi, tidak ada kebebasan beragama di negeri Muslim ini. Berbagai LSM di Indonesia sibuk mengumumkan hasil penelitian bahwa kondisi kebebasan beragama di Indonesia sangat buruk.

Cara eksploitasi kasus di luar batas proporsinya ini sangat merugikan citra bangsa. Padahal, lihatlah fakta besarnya! Muslim Indonesia sudah terbiasa dengan keberagaman dalam kehidupan beragama. Umat Muslim terbiasa menerima pejabat-pejebat non-Muslim duduk di posisi-posisi penting kenegaraan. Umat Muslim sangat biasa melihat tayangan-tayangan acara agama lain di stasiun televisi nasional. Hari libur keagamaan pun dibagi secara proporsional.

Tengoklah, berapa gelintir orang Muslim yang diberi kesempatan untuk menjadi pejabat tinggi di negara-negara Barat, sampai saat ini. Tengoklah, apakah kaum Muslim di sana bebas mengumandangkan azan, sebagaimana kaum Kristen di Indonesia bebas membunyikan lonceng gereja. Apa ada hari libur untuk kaum Muslim saat berhari raya, sebagaimana kaum Kristen menikmati libur Natal dan Paskah?

Tengoklah pusat-pusat pembelanjaan dan televisi-televisi Indonesia saat perayaan Natal! Apakah kaum Kristen dihalang-halangi untuk merayakan Natal dan hari besar lainnya? Justru yang terjadi sebaliknya. Di Indonesia, sebuah negeri Muslim, suasana Natal begitu bebas merambah seluruh aspek media massa.

Dalam kondisi maraknya ritual Kristen dan Kristenisasi di Indonesia, sungguh suatu “kecerdikan yang luar biasa” dalam bidang teknik pencitraan, bahwa Indonesia dicitrakan sebagai sebuah negeri yang tidak memberikan toleransi beragama kepada minoritas Kristen. Seolah-olah mereka adalahn umat yang tertindas dan teraniaya. Adanya kasus-kasus tertentu diangkat dan dieksploitasi begitu dahsyat sehingga Indonesia dicitrakan sebagai negeri yang tidak ada kebebasan beragama.

Tentu, adilnya, jika ingin menikmati kecantikan wajah seorang gadis, lihatlah seluruh wajahnya! Jika hanya satu dua jerawat yang diteropong dan dipelototi habis-habisan, maka wajah cantik itu akan hilang dari pandangan mata!

Kaum Muslim pasti sangat mencintai negeri ini. Muslim pasti mencintai toleransi, kerukunan, dan perdamaian. Hanya saja, tokoh Islam Indonesia M. Natsir, pernah memohon: “…kalaulah ada suatu harta yang kami cintai dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula memotong tali warisan ini!”

Kaum Muslim perlu terus mengambil hikmah dan pelajaran dari berbagai kasus yang menimpa mereka. Juga, kaum Muslim, terutama para aktivis dakwah, perlu terus meningkatkan kualitas dan kemampuan dakwahnya, agar mereka tidak mudah dikelabui dan diperdayakan. Toleransi umat Islam dinegeri ini tidak dihargai, justru umat Islam dicitrakan sebagai umat yang tidak toleran, padahal secara umum, mereka sudah berbuat begitu baik kepada kalangan non-Muslim dalam berbagai bidang kehidupan. [hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com